Astaghfirullah, Usus Anak Ini Dipotong akibat Kebanyakan Mi Instan! - SehatIslamy
MAKSUD hati membantu suami menambah penghasilan, apa
daya anak jadi korban. Akibat kerap meninggalkan buah hatinya, Hilal
Aljajira (6), Erna Sutika (32) kini harus menelan pil pahit. Usus Hilal
bocor dan membusuk hingga harus dipotong. Rupanya tiap hari Hilal hanya
menyantap mi instan karena di rumah tak ada orang yang memasakkan
makanan untuknya. Berikut cerita Erna.
Saat usia Hilal menginjak 2
tahun, aku memutuskan bekerja, membantu keuangan keluarga mengingat
penghasilan suamiku, Saripudin (39), kurang mencukupi kebutuhan
keluarga.
Aku bekerja di perusahaan pembuat bulu mata palsu, tak
jauh dari rumah kami di Garut. Setiap berangkat kerja, Hilal kutitipkan
kepada ibuku. Di situ, ibuku kerap memberinya mi instan. Bukan salah
ibuku, sih, karena sebelumnya, aku juga suka memberinya makanan itu jika
sedang tidak masak.
Ternyata, Hilal jadi “tergila-gila” makanan itu. Ia akan mengamuk dan mogok makan
jika tak diberi mi instan. Ya, daripada cucunya kelaparan, ibuku
akhirnya hanya mengalah dan menuruti kemauan Hilal. Lagi pula, kalau
tidak diberi, Hilal pasti akan membeli sendiri mi instan di warung dekat
rumah dengan uang jajan yang kuberikan. Praktis, sehari dua kali ia
makan mi instan.
Dua kali dipotong
Kamis, 20
November 2008, Hilal mengeluh sakit perut. Kupikir sakit biasa. Anehnya,
setelah tiga hari, sakitnya tak kunjung hilang dan ditambah ia tidak
bisa buang air besar. Gara-gara itulah perutnya membesar.
Khawatir,
kubawa Hilal ke mantri dekat rumah. Karena tetap tidak ada perubahan,
kami kemudian membawanya ke RSU Dr Slamet, Garut. Ternyata hasil
pemeriksaan dokter lebih menyeramkan dari yang kuduga. Kupikir, cukup
dengan obat pencahar perut, sakit Hilal bisa segera sembuh. Rupanya tak
segampang itu.
Hasil tes darah dan rontgen memperlihatkan, Hilal
harus segera dioperasi karena beberapa bagian di ususnya bocor dan
membusuk. Ketika kutanyakan apa penyebabnya, dokter menjawab, akibat
dari kandungan makanan yang Hilal konsumsi selama ini tidak sehat dan
membuat ususnya rusak. Saat itulah kutahu Hilal terlalu sering menyantap
mi instan. Astagfirullah….
Atas rujukan dokter, kami kemudian
membawa Hilal ke RS Hasan Sadikin, Bandung, dengan alasan peralatan
medis di RS itu lebih lengkap. Sejak awal, tim dokter sudah pesimistis
dengan kondisi Hilal yang begitu memprihatinkan dengan berat badan yang
tidak sampai 11 kg. Dokter juga bilang, dari puluhan kasus serupa, hanya
tiga orang yang bertahan hidup. Aku hanya bisa berserah pada Allah SWT.
Baru
pada 25 November 2008 operasi dilakukan di RS Immanuel, Bandung. Saat
itu aku sedang hamil tiga bulan. Dokter mengamputasi usus Hilal sekitar
10 cm. Untuk menyatukan bagian usus yang terputus itu, dokter
menyambungnya dengan usus sintetis. Selain itu, dokter juga membuat
lubang anus sementara (kolostomi) di dinding perut sebelah kanan.
Utang belum lunas
Ternyata
cobaan kami belum berakhir sampai di situ. Tiga hari kemudian, dokter
menemukan masih ada bagian usus yang bocor. Mau tidak mau, Hilal harus
kembali naik ke meja operasi dan merelakan sebagian ususnya lagi.
Jelas,
aku dan suami sangat ingin Hilal sembuh. Namun, di sisi lain,
penghasilanku sebagai buruh tidaklah seberapa. Setiap bulan, aku hanya
bisa membawa pulang uang Rp 250.000 atau Rp 300.000 kalau lembur. Adapun
suamiku penghasilannya tidak pernah menentu. Maklum, ia hanya kuli
kasar di pabrik tahu di Bandung.
Sejak Hilal jatuh sakit, aku
memutuskan berhenti bekerja. Alhasil, suamiku harus banting tulang
mengerjakan pekerjaan apa pun asal menghasilkan uang. Kendati sudah
bekerja begitu keras, rasanya sia-sia saja. Biaya operasi Hilal yang
mencapai Rp 16 juta terasa begitu besar dan entah kapan bisa dilunasi.
Apalagi, kami hanya punya waktu 10 hari untuk melunasinya. Untung pihak
rumah sakit berbaik hati memberi kelonggaran waktu dua hari sehingga
kami masih sempat meminjam uang ke beberapa keluarga dan tetangga.
Demi
kesembuhan Hilal pula, kami harus lebih berhemat. Rumah kontrakan kami
tinggalkan dan kami menumpang di rumah orangtuaku. Sebenarnya uang
kontrakan rumah itu tidak terlalu besar, hanya Rp 300.000 per tahun,
tapi tetap saja uang sebesar itu sangat berarti untuk biaya pengobatan
Hilal.
Kata dokter, kolostomi di perut Hilal sudah bisa ditutup
setelah tiga bulan. Namun, baru setelah delapan bulan kemudian, tepatnya
23 Juli 2009, operasi penutupan dilakukan. Apalagi kalau bukan masalah
biaya. Itu pun bisa dilakukan karena kami dapat bantuan dari sebuah
stasiun televisi swasta sebesar Rp 14 juta.
Soal utang ke
keluarga dan tetangga sebesar Rp 16 juta, entah kapan bisa kami
selesaikan. Kepalaku jadi tambah pening bila mengingat, sebentar lagi si
sulung, Panda Erdini (11), akan masuk SMP.
SEJAK ususnya yang busuk dipotong, Hilal tidak lagi
merasakan sakit pada bagian ususnya. Celakanya, rasa sakit justru
berpindah ke bagian kolostominya. Setiap kali habis makan, makanan itu
pasti langsung keluar melalui lubang anus buatan itu. Saat itulah
dinding perutnya merasakan sakit yang luar biasa. Ia bisa menangis
menjerit-jerit kesakitan.
Belum lagi plastik yang menempel untuk menampung feses yang penuh dan harus diganti dengan yang baru.
Double tape yang sering kali dilepas dan dipasang membuat kulit perutnya iritasi dan perih.
Jika sudah tak bisa menahan sakitnya, Hilal akan berujar, “Udah Hilal
paeh aja!
(Hilal lebih baik mati saja!)” Kadang juga ia berteriak minta maaf
kepada Allah dan minta disembuhkan sambil mengatupkan kedua tangannya.
Kasihan anakku.
Setiap hari, selama delapan bulan itu, ia hanya
menghabiskan waktunya di tempat tidur. Hilal hanya mampu berjalan
beberapa menit karena jika terlalu lama ia pasti langsung merasakan
sakit di bagian kolostominya. Setiap malam, ia juga harus tertidur
dengan paha diangkat menyentuh ke perutnya. Katanya, terasa enak dan
membantu menahan rasa sakitnya.
Kapok Makan Mi
Agar
ia tidak merasa bosan di kamar seharian, aku mengalihkan rasa sakitnya
dengan mengajarinya membaca. Awalnya, sih, sekadar membacakan buku-buku
cerita untuknya, tapi lama-kelamaan ia merasa tertarik untuk membaca.
Aku dan Panda bergantian mengajarinya. Tidak terasa, saat ini ia sudah
lancar membaca,
lo.
Memang, sebetulnya Hilal anak yang
sangat pintar dan aktif. Sebelumnya ia tidak pernah sakit dan sangat
penurut. Namun, sejak kelahiran adiknya dua bulan lalu, Ilham Haki, ia
menjadi lebih manja padaku. Ia melarangku menggendong dan menyusui
adiknya. Aku, sih, maklum saja karena dia masih sakit dan mungkin takut
rasa sayangku direbut oleh adiknya.
Sekarang Hilal sudah bisa
berjalan lagi. Memang, sih, masih sedikit bongkok, tapi aku yakin dalam
waktu dekat ia bisa berdiri dan berjalan dengan sempurna. Katanya, ia
ingin segera sekolah.
Yang membuatku lega, sejak sakit itu, Hilal
trauma dengan mi instan. Bahkan melihatnya saja, dia seakan tak sudi.
Beda dengan dulu, sekarang ia sangat senang mengonsumsi makanan sehat,
seperti sayur, daging, buah, dan susu. Susu memang dianjurkan dokter
untuk membantu memperbaiki kondisi dan kinerja ususnya.
Mudah-mudahan
ia bisa segera sembuh dari sakitnya dan menjadi anak yang pintar serta
berprestasi di sekolahnya nanti. (